Jumat, 18 Juli 2014

Asih, Asah dan Asuh Dalam Lika-Liku Kaderisasi

Kaderisasi? Apaan tuh? Sama nggak sih dengan MOS/Ospek/Osjur?

Sepintas itu adalah hal yang terpikirkan oleh kebanyakkan orang jika mendengar kata “kaderisasi”. Sebenarnya apa sih definisi kaderisasi?

Berdasarkan KBBI kaderisasi adalah proses mendidik/mengajari seseorang/sekelompok orang untuk menjadi kader yang baik/ideal. Lalu definisi kader itu apa? Jujur, saya tidak mau berpanjang lebar membahas definisi tersebut secara “tekstual” di sini. Jadi, silahkan teman-teman pembaca mencari sendiri definisinya di KBBI.

Setiap orang punya pemahamannya masing-masing mengenai definisi “kaderisasi”, seperti halnya yang telah dituliskan oleh teman saya Zulva Fachrina, ya, kaderisasi itu ialah satu kata yang sarat akan makna.

Saya kutip sebagian catatan dari teman saya tersebut:
"Kaderisasi itu adalah proses pembelajaran. Kaderisasi adalah tempat berbagi. Kaderisasi mungkin bisa jadi ajang perpeloncoan. Kaderisasi bisa menjadi tempat untuk mencari teman baru. Kaderisasi adalah kegiatan yang menghabiskan banyak waktu. Kaderisasi adalah ajang pengembangan diri. Kaderisasi adalah kegiatan yang melelahkan. Kaderisasi itu menyenangkan. Kaderisasi adalah wadah untuk berkarya dan mengekspresikan diri. Kaderisasi itu seumur hidup bukan “eventual” saja. Begitu banyak pengertian dari kaderisasi. Satu kata, namun memiliki banyak makna. Kaderisasi bisa menjadi sesuatu yang positif, namun juga bisa jadi negatif, tergantung dari tujuan, niat dan pelaksanaannya. Ya itulah kaderisasi, satu kata sarat makna".

MOS/Ospek/Osjur adalah salah satu bentuk dari kaderisasi, tapi kaderisasi sendiri tidak hanya berhenti di situ, ia memiliki impact yang sangat besar, ruang lingkupnya amat luas, keberlangsungannya tidak hanya sesaat melainkan seumur hidup, dan keberadaannya menurut saya pribadi sangat dibutuhkan, terlepas dari “isu negative yang beredar tentang dirinya”.

Saya yakin banyak yang telah mengalami proses kaderisasi entah dengan metode seperti apa. Saya pribadi mengalami kaderisasi yang “terstruktur dan massal” sejak SMP, lalu berlanjut di SMA dan masih terus berlanjut sampai saat ini, di bangku kuliah ini (OSKM,OsFak, OsJur, dll), di kampus Gajah tercinta.

Tak perlu saya jelaskan lagi bagaimana bentuk kaderisasi di tingkat menengah (read: SMP, SMA), saya rasa rekan-rekan sudah tahu rata-rata seperti apa. Kebanyakkan “hal itu” terjadi karena tradisi yang turun menurun, bisa jadi ajang balas dendam, atau mungkin ada alasan-alasan lain yang bisa jadi masuk akal bisa jadi tidak.

Tapi mungkin sahabat-sahabat merasakan hal yang berbeda ketika menginjakkan kaki di kampus ini, dimulai dengan penyambutan ketika OSKM ITB 2013. Ya, aku pun merasakannya, kampus dengan penuh agenda kaderisasi ini telah membuka mata dan pikiranku, telah membuka mata dan pikiran kebanyakkan dari kita, bahwa definisi kaderisasi tidak sesempit pikiran (mungkin kebanyakkan/mayoritas) kita saat SMP/SMA dulu.

Kaderisasi itu bukan acara sesaat, dia berlangsung sepanjang hidup, dari mulai kita lahir ke dunia sampai ruh ini diambil kembali oleh Sang Pencipta. Proses menjadi lebih baik, proses belajar dan berbagi ini berlangsung seumur hidup, bukan sehari dua hari, bukan sebulan dua bulan, bukan setahun dua tahun. Selain itu yang harus diingat, kaderisasi sejatinya bukanlah ajang pembodohan dan bukan juga ajang balas dendam (over senioritas). Kaderisasi adalah proses penurunan nilai yang dilakukan oleh pengkader kepada yang dikader dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.

Ada motto yang saya suka, yang menurut saya cocok dengan kaderisasi.  
“Silih asih, asah, dan asuh”.

Seharusnya kaderisasi adalah seperti itu, di sana kita memperbanyak teman, disana kita dengan tulus berbagi kasih sayang dan kebahagiaan, di sana kita terus belajar, terus ditempa untuk menjadi insan yang lebih baik, dan mereka yang lebih seniorlah yang seharusnya mengajarkan itu kepada kami (kita), membimbing kami yang masih junior, tentunya dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.

Tapi rata-rata yang terjadi di lapangan tidak demikian, banyak pengkader (subjek kaderisasi) yang memaksakan agar objek kaderisasinya (orang yang dikader) bisa dengan cepat menerima materi dalam waktu yang relative singkat dengan metode-metode tertentu misalnya agitasi atau semacamnya.
Saya akan lebih dalam membahas mengenai agitasi dan pengkaderan massal. Saya tidak mengatakan agitasi itu metode yang salah/kurang tepat, tetapi itu harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. Tidak setiap rangkaian kaderisasi harus diisi dengan agitasi bukan? Saya rasa masih banyak metode lain yang juga cukup relevan untuk bisa diterapkan.

Saya jadi teringat kata-kata seseorang waktu pada suatu kepanitiaan kami sempat mengalami masalah koordinasi dan hal-hal teknis (seperti kurangnya kepedulian/ kesadaran/ kontribusi/ tanggungjawab salah satu atau beberapa panitia). Seseorang yang lebih senior dan cukup saya kagumi, seseorang yang sudah lama merasakan pahit manisnya kehidupan, terutama di kampus ini. Ia berkata “Hati itu hanya bisa disentuh dengan hati”. Jadi saya rasa bisa jadi dengan “pendekatan hati” materi kaderisasi mungkin bisa diterima dengan lebih baik dan lebih cepat.

Anggap saja banyak objek kaderisasi (orang yang dikader) melakukan kesalahan, apakah harus “selalu” evaluasinya dengan metode agitasi? Sekali lagi saya katakan tidak. Saya yakin masih ada cara lain yang lebih efektif, tinggal masalahnya itu kita mau nggak mencoba mencari cara lain yang bahkan jarang atau mungkin belum pernah dicoba sama orang lain.

Terlebih lagi dengan objek kaderisasi (orang yang dikader) yang jumlahnya massal dan waktu pengkaderan yang terbilang singkat. Sering kali (dari yang saya amati) pengkader menganggap setiap individu itu sama saja (ini masih hipotesis saya, belum terbukti kebenarannya). Hal yang sering dipermasalahkan dalam kaderisasi massal ialah mengenai kuorum, baik fisik maupun data, dengan tujuan kita harus tahu keadaan setiap individunya agar rasa kepedeulian dan kekeluargaan kita meningkat. Mereka berkata bahwa orang yang tidak datang pada salah satu rangkaian kaderisasi akan ketinggalan materi, meskipun ada matrikulasi tetap saja hasilnya berbeda, hal itu berdasarkan pendapat sebagian orang sebagaimana berikut: “Proses yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda”.

Namun apakah selalu hal tsb berlaku demikian. Anggaplah kaderisasi ini sebagai proses menjawab soal suatu mata kuliah, sebut saja fisika/kalkulus. Apakah untuk mendapatkan suatu jawaban yang benar terhadap suatu soal tertentu, hanya bisa dilakukan dengan satu cara, hanya bisa dilakukan dengan satu metode? Saya rasa tidak, banyak rumus/asumsi/cara yang bisa dipakai. Ingat pepatah "Banyak jalan menuju roma" dan "Tidak ada rotan akar pun jadi". Saya rasa ini juga merupakan suatu masalah, kebanyakkan dari kita masih terkungkung dalam pikiran kita sendiri, terkekang karena suatu paradigma yang diciptakan sedemikan rupa dan terus menerus diturunkan. Seharusnya kita bisa bebas, berpikirlah out of the box, berpikirlah kritis, analitis dan solutif.

Selain itu coba mari kita cermati lagi, asumsikan pernyataan "proses yang berbeda menghasilkan input yang berbeda" adalah benar mutlak (meskipun sebenarnya belum tentu juga), lalu apakah mereka juga berpikir bahwa setiap input itu berbeda? Lalu mengapa dengan input yang berbeda kita diberikan proses yang sama? Akankah hasilnyasama? Silahkan teman-teman menjawabnya sendiri-sendiri. Saya tidak tahu apakah mereka berpikir setiap input dalam setiap kaderisasi itu sama atau tidak. Tapi satu yang saya yakini bahwa setiap orang yang dikader itu memiliki latar belakang yang berbeda, pengalaman organisasinya berbeda, mindset-nya berbeda, kepribadian pun berbeda-beda,  ada yang bisa dikerasin ada yang tidak, ada yang bisa diagitasi, ada yang tidak, ada yang tahan fisik ada juga yang tidak, dsb.

Jadi menurut saya kaderisasi itu penting dan sangat diperlukan, sebagaimana definisinya yang sarat akan makna dan tidak sebatas eventual saja, melainkan seumur hidup. Hanya saja mungkin ada baiknya jika kita berusaha mencari metode/cara lain yang mungkin bisa lebih efektif untuk kaderisasi, khususnya untuk kaderisasi massal yang terstrukstur dan waktu yang singkat. Dan tentunya jangan lupa esensi dari kaderisasi itu sendiri, untuk saya pribadi kalimat yang paling cocok untuk  mewakili kaderisasi adalah  “Silih Asih, Asah dan Asuh dalam proses memanusiakan manusia”. Itulah opini saya mengenai kaderisasi, bagaimana menurutmu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar