Kaderisasi? Apaan tuh? Sama nggak sih dengan MOS/Ospek/Osjur?
Sepintas
 itu adalah hal yang terpikirkan oleh kebanyakkan orang jika mendengar 
kata “kaderisasi”. Sebenarnya apa sih definisi kaderisasi?
Berdasarkan
 KBBI kaderisasi adalah proses mendidik/mengajari seseorang/sekelompok 
orang untuk menjadi kader yang baik/ideal. Lalu definisi kader itu apa? 
Jujur, saya tidak mau berpanjang lebar membahas definisi tersebut secara
 “tekstual” di sini. Jadi, silahkan teman-teman pembaca mencari sendiri 
definisinya di KBBI. 
Setiap orang punya pemahamannya 
masing-masing mengenai definisi “kaderisasi”, seperti halnya yang telah 
dituliskan oleh teman saya Zulva Fachrina, ya, kaderisasi itu ialah satu
 kata yang sarat akan makna. 
Saya kutip sebagian catatan dari teman saya tersebut:
"Kaderisasi
 itu adalah proses pembelajaran. Kaderisasi adalah tempat berbagi. 
Kaderisasi mungkin bisa jadi ajang perpeloncoan. Kaderisasi bisa menjadi
 tempat untuk mencari teman baru. Kaderisasi adalah kegiatan yang 
menghabiskan banyak waktu. Kaderisasi adalah ajang pengembangan diri. 
Kaderisasi adalah kegiatan yang melelahkan. Kaderisasi itu menyenangkan.
 Kaderisasi adalah wadah untuk berkarya dan mengekspresikan diri. 
Kaderisasi itu seumur hidup bukan “eventual” saja. Begitu banyak 
pengertian dari kaderisasi. Satu kata, namun memiliki banyak makna. 
Kaderisasi bisa menjadi sesuatu yang positif, namun juga bisa jadi 
negatif, tergantung dari tujuan, niat dan pelaksanaannya. Ya itulah 
kaderisasi, satu kata sarat makna".
MOS/Ospek/Osjur 
adalah salah satu bentuk dari kaderisasi, tapi kaderisasi sendiri tidak 
hanya berhenti di situ, ia memiliki impact yang sangat besar, ruang 
lingkupnya amat luas, keberlangsungannya tidak hanya sesaat melainkan 
seumur hidup, dan keberadaannya menurut saya pribadi sangat dibutuhkan, 
terlepas dari “isu negative yang beredar tentang dirinya”.
Saya
 yakin banyak yang telah mengalami proses kaderisasi entah dengan metode
 seperti apa. Saya pribadi mengalami kaderisasi yang “terstruktur dan 
massal” sejak SMP, lalu berlanjut di SMA dan masih terus berlanjut 
sampai saat ini, di bangku kuliah ini (OSKM,OsFak, OsJur, dll), di 
kampus Gajah tercinta. 
Tak perlu saya jelaskan lagi 
bagaimana bentuk kaderisasi di tingkat menengah (read: SMP, SMA), saya 
rasa rekan-rekan sudah tahu rata-rata seperti apa. Kebanyakkan “hal itu”
 terjadi karena tradisi yang turun menurun, bisa jadi ajang balas 
dendam, atau mungkin ada alasan-alasan lain yang bisa jadi masuk akal 
bisa jadi tidak. 
Tapi mungkin sahabat-sahabat 
merasakan hal yang berbeda ketika menginjakkan kaki di kampus ini, 
dimulai dengan penyambutan ketika OSKM ITB 2013. Ya, aku pun 
merasakannya, kampus dengan penuh agenda kaderisasi ini telah membuka 
mata dan pikiranku, telah membuka mata dan pikiran kebanyakkan dari 
kita, bahwa definisi kaderisasi tidak sesempit pikiran (mungkin 
kebanyakkan/mayoritas) kita saat SMP/SMA dulu. 
Kaderisasi
 itu bukan acara sesaat, dia berlangsung sepanjang hidup, dari mulai 
kita lahir ke dunia sampai ruh ini diambil kembali oleh Sang Pencipta. 
Proses menjadi lebih baik, proses belajar dan berbagi ini berlangsung 
seumur hidup, bukan sehari dua hari, bukan sebulan dua bulan, bukan 
setahun dua tahun. Selain itu yang harus diingat, kaderisasi sejatinya 
bukanlah ajang pembodohan dan bukan juga ajang balas dendam (over 
senioritas). Kaderisasi adalah proses penurunan nilai yang dilakukan 
oleh pengkader kepada yang dikader dengan penuh ketulusan dan 
keikhlasan. 
Ada motto yang saya suka, yang menurut saya cocok dengan kaderisasi.  
“Silih asih, asah, dan asuh”. 
Seharusnya
 kaderisasi adalah seperti itu, di sana kita memperbanyak teman, disana 
kita dengan tulus berbagi kasih sayang dan kebahagiaan, di sana kita 
terus belajar, terus ditempa untuk menjadi insan yang lebih baik, dan 
mereka yang lebih seniorlah yang seharusnya mengajarkan itu kepada kami 
(kita), membimbing kami yang masih junior, tentunya dengan penuh 
ketulusan dan keikhlasan.
Tapi rata-rata yang terjadi 
di lapangan tidak demikian, banyak pengkader (subjek kaderisasi) yang 
memaksakan agar objek kaderisasinya (orang yang dikader) bisa dengan 
cepat menerima materi dalam waktu yang relative singkat dengan 
metode-metode tertentu misalnya agitasi atau semacamnya. 
Saya 
akan lebih dalam membahas mengenai agitasi dan pengkaderan massal. Saya 
tidak mengatakan agitasi itu metode yang salah/kurang tepat, tetapi itu 
harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. Tidak setiap 
rangkaian kaderisasi harus diisi dengan agitasi bukan? Saya rasa masih 
banyak metode lain yang juga cukup relevan untuk bisa diterapkan. 
Saya
 jadi teringat kata-kata seseorang waktu pada suatu kepanitiaan kami 
sempat mengalami masalah koordinasi dan hal-hal teknis (seperti 
kurangnya kepedulian/ kesadaran/ kontribusi/ tanggungjawab salah satu 
atau beberapa panitia). Seseorang yang lebih senior dan cukup saya 
kagumi, seseorang yang sudah lama merasakan pahit manisnya kehidupan, 
terutama di kampus ini. Ia berkata “Hati itu hanya bisa disentuh dengan 
hati”. Jadi saya rasa bisa jadi dengan “pendekatan hati” materi 
kaderisasi mungkin bisa diterima dengan lebih baik dan lebih cepat.
Anggap
 saja banyak objek kaderisasi (orang yang dikader) melakukan kesalahan, 
apakah harus “selalu” evaluasinya dengan metode agitasi? Sekali lagi 
saya katakan tidak. Saya yakin masih ada cara lain yang lebih efektif, 
tinggal masalahnya itu kita mau nggak mencoba mencari cara lain yang 
bahkan jarang atau mungkin belum pernah dicoba sama orang lain.
Terlebih
 lagi dengan objek kaderisasi (orang yang dikader) yang jumlahnya massal
 dan waktu pengkaderan yang terbilang singkat. Sering kali (dari yang 
saya amati) pengkader menganggap setiap individu itu sama saja (ini 
masih hipotesis saya, belum terbukti kebenarannya). Hal yang sering 
dipermasalahkan dalam kaderisasi massal ialah mengenai kuorum, baik 
fisik maupun data, dengan tujuan kita harus tahu keadaan setiap 
individunya agar rasa kepedeulian dan kekeluargaan kita meningkat. 
Mereka berkata bahwa orang yang tidak datang pada salah satu rangkaian 
kaderisasi akan ketinggalan materi, meskipun ada matrikulasi tetap saja 
hasilnya berbeda, hal itu berdasarkan pendapat sebagian orang 
sebagaimana berikut: “Proses yang berbeda akan menghasilkan output yang 
berbeda”. 
Namun apakah selalu hal tsb berlaku 
demikian. Anggaplah kaderisasi ini sebagai proses menjawab soal suatu 
mata kuliah, sebut saja fisika/kalkulus. Apakah untuk mendapatkan suatu 
jawaban yang benar terhadap suatu soal tertentu, hanya bisa dilakukan 
dengan satu cara, hanya bisa dilakukan dengan satu metode? Saya rasa 
tidak, banyak rumus/asumsi/cara yang bisa dipakai. Ingat pepatah "Banyak
 jalan menuju roma" dan "Tidak ada rotan akar pun jadi". Saya rasa ini 
juga merupakan suatu masalah, kebanyakkan dari kita masih terkungkung 
dalam pikiran kita sendiri, terkekang karena suatu paradigma yang 
diciptakan sedemikan rupa dan terus menerus diturunkan. Seharusnya kita 
bisa bebas, berpikirlah out of the box, berpikirlah kritis, analitis dan
 solutif.
Selain itu coba mari kita cermati lagi, 
asumsikan pernyataan "proses yang berbeda menghasilkan input yang 
berbeda" adalah benar mutlak (meskipun sebenarnya belum tentu juga), 
lalu apakah mereka juga berpikir bahwa setiap input itu berbeda? Lalu 
mengapa dengan input yang berbeda kita diberikan proses yang sama? 
Akankah hasilnyasama? Silahkan teman-teman menjawabnya sendiri-sendiri. 
Saya tidak tahu apakah mereka berpikir setiap input dalam setiap 
kaderisasi itu sama atau tidak. Tapi satu yang saya yakini bahwa setiap 
orang yang dikader itu memiliki latar belakang yang berbeda, pengalaman 
organisasinya berbeda, mindset-nya berbeda, kepribadian pun 
berbeda-beda,  ada yang bisa dikerasin ada yang tidak, ada yang bisa 
diagitasi, ada yang tidak, ada yang tahan fisik ada juga yang tidak, 
dsb. 
Jadi menurut saya kaderisasi itu penting dan 
sangat diperlukan, sebagaimana definisinya yang sarat akan makna dan 
tidak sebatas eventual saja, melainkan seumur hidup. Hanya saja mungkin 
ada baiknya jika kita berusaha mencari metode/cara lain yang mungkin 
bisa lebih efektif untuk kaderisasi, khususnya untuk kaderisasi massal 
yang terstrukstur dan waktu yang singkat. Dan tentunya jangan lupa 
esensi dari kaderisasi itu sendiri, untuk saya pribadi kalimat yang 
paling cocok untuk  mewakili kaderisasi adalah  “Silih Asih, Asah dan 
Asuh dalam proses memanusiakan manusia”. Itulah opini saya mengenai kaderisasi, bagaimana menurutmu?
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar